CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 17 Oktober 2010

Pelajaran Berharga


 cerpen yang aku kirim buat lomba cerpen, tapi? cerpen ini menuai kegagalan. haha!
karena cerpen ini gagal, buat yang baca, aku minta tolong banget buat ngritik apa yang kurang atau yang salah sama ini cerpen. makasih!!


Pelajaran Berharga
EVENT ANKAD, BUKA PUASA BERSAMA, ikut yahh?:D:D:D
Ada beberapa messege baru di facebookku, dan salah satunya pesan itu, pemberitahuan buka puasa bersama, bareng Ankad,Ankad itu bukan nama orang tunggal, tapi jamak, Ankad adalah sebutan untuk kelas kami waktu smp dulu. Itu artinya buka puasa bareng sambil reuni. Wahhh, untungnya masih tanggal muda, kalau enggak, aku harus minta uang ‘eksternal’ sama ibu. Bulan Ramadhan seperti ini memang sarat akan ajakan buka bersama, itu berarti sarat juga dengan uang ‘eksternal’.
“Lin, lo mau ikut kan?, bantuin gue ngurusin booking tempatnya ya? Mau ya?”. Pinta Laina dengan sangat meminta di telepon. Setelah menerima messege itu, aku langsung menelepon Laina. Dia BB(Best Buddy)-ku sewaktu smp, sayangnya aku dan dia sekarang tidak satu sma.
“ok! asal gue free ya? Hehehe”. Ujarku asal. Dari sana terdengar suara helaan nafas.
“padahal elo sama Cindy yang gue harepin nraktir gue”. Ceile ini anak, tau gue lagi enggak subur juga yey?!.
“yah elo, hehe, kapan mau booking Ras?”.
“lusa, sekarang sama besok gue ada les”.
“rajin amat sih lu, dari smp kerjaan lu les mulu, kecantol guru les lo ya?”. Laina tertawa.
“yee, gue suka sama cowok pilih-pilih kali Lin!”.
“ye gue kira lo enggak pilih-pilih”. Ejek gue sambil menekankan suara gue untuk kata-kata ‘enggak pilih-pilih’.
“udah ah, mulai lagi kita, berlantur ria, hehe, gue tunggu lo ya? Di dago jam 3, OK?”.
“OK!”. kata itulah yang menjadi kata penutup pembicaraanku ditelepon(tanpa salam, dasar Laina ama gue emang sama-sama mantan preman dulu!). Aku segera mengelap layar iPhone-ku yang berminyak karena terlalu lama bersentuhan(apa bukannya berdempetan?) dengan pipi ku yang banyak mengandung minyak, jika itu minyak bumi, mungkin aku sudah lama menggantungkan Sony Alpha980(merek kamera SLR yang sangat mahal!) dileherku.
“telepon dari siapa Ai[1]?”. Tanya Ludwig sambil mengelus lembut kepalaku. Ludwig adalah pacarku satu-satunya, hehehe. Kami sudah 11 bulan sama-sama menyandang status berpacaran, tentu saja dia denganku dan aku dengannya.
“Laina, dia ngajakin ngebooking tempat buat buka bareng ntar sabtu”. Jawabku seraya tersenyum.
“hah? Sabtu? Yahh, itu kan hari jadian kita Ai?”. Ya ampun! Apa yang selama ini ada diotak gue sih? Masa annniversary day aja kagak hafal gue!, mana belum nyiapin hadiah lagi?!.
“oh iya! Gimana dong? Aku udah kelanjur bilang iya sama temen-temen”. Aduh gimana ya? seharusnya hal itu udah aku siapin jauh-jauh hari, bego banget sih!. Aku lihat wajah Ludwig yang santai-santai aja menyikapi ke-bego-an-ku itu.
“ya udah, kamu ikut aja, besoknya, baru kita rayain, gimana?”. Usul Ludwig tenang. Hmm kamu emang briliant sayang. Hahaha!. Dia enggak marah ya? Ajaib!.
“enggak apa-apa?”. Tanyaku hati-hati, Ludwig mengangguk seraya tersenyum. idihh!. Lucu.
“tentu, jangan sampai duluin aku daripada temen-temen kamu, aku rasa mereka lebih penting, kan mereka yang udah nemenin kamu 3 tahun lebih, iya enggak?”. Ahh! Ludwig! Sekali lagi lo bikin gue jatuh cinta.
“makasih sayang”. Ludwig tersenyum manis setelah aku mengucapkan kata ini, dia membelai rambutku, dan lalu kembali berkutat di notebooknya. Enggak repot ya punya Ludwig?.
Hari sabtu pun akhirnya datang. Karena itulah jam 3 sore aku sudah mandi dan bersiap untuk shalat Ashar, setelahnya, langsung, enggak pake basa-basi, aku memilah-milah dan mematut-matut baju yang pantas(dan tentunya belum kupakai didepan mereka). Karena ini acara bulan Ramadhan, baju yang kupakai harus kucocokan dengan warna jilbabnya, aku pakei jilbab hei! Keren gak?. Aku benar-benar semangat pakai jilbab setelah Ludwig memujiku pada saat aku memakainya diacara pengajian syukuran Om-ku tahun lalu. Hehehe, padahal sebelumnya guru-guru sudah menghimbau muridnya untuk berjilbab, hampir setiap hari loh! Mereka mencoba mengingatkan kami, tapi, Ludwig memang penyihir, enggak perlu nyuruh, cukup muji dengan tatapan polos nan bloonnya Ludwig, dia udah berhasil nyihir aku ampe pakei jilbab, meskipun sedikit-sedikit, Ludwig bilang, yang pertama kudu dijilbab-in tuh hati, baru fisik. Ahhh, Ludwig emang keren, kebanyakan cowok suka ceweknya terbuka, eh, dia malah suruh aku nutupin. Makin sayang dah!. Akhirnya acara mematut-matut-dan-mencampur-campur-pakaian-ku selesai dengan sangat sukses, yah, emang simple sih, tapi berkelas!(simple namun berkelas? Bisa lo banyangin gak?). Tinggal dibedak trus lipglossin bibir. Lagi asyik-asyiknya milihin sepatu yang pas buat setelan t-shirt dress+brown jeans+cream cardigan, eh si gondrong alias Ludwig nelpon.
“hallo assalamualaikum?”. Sapaku setelah mengangkat telepon, pandanganku masih tertuju pada tumpukan sepatu di samping lemari pakaianku.
“walaikumsalam, Ai, udah berangkat?”.
“belom, masih pilih-pilih sepatu, menurut kamu aku cocok pake yang ada heels-nya atau flat aja yang?”.
“oh, yang flat aja, ntar kaki kamu sakit, ehm, Ai, aku gak bisa antar kamu, gimana dong?”.
“oh, gak apa-apa, aku berangkat sendiri aja, orang deket kok”.
“aduh, aku khawatir kalau kamu naik angkot, aku teleponin taksi mau ya?”.
“enggak usah, aku naik angkot aja”.
“ih, gimana kalau ntar kamu dicolek-colek sama yang naek”. Colek-colek? Emang aku sambel bang?!.
“kamu, bulan puasa kok su’udzan?!”.
“bukannya gitu Ai, aku khawatir, gimana sih!?”.
“iyah, aku berangkat sama Agus, yah? Entar pulangnnya bareng Cindy, OK?”. Agus kan lagi mudik?!, aku terpaksa boong. Lagi.
“nah, kalau gitu, baru aku tenang, kamu ntar disana makan yang banyak ya? abis acara selese kamu harus langsung pulang, OK?”.
“yee, kamu! Paling aku Cuma karaoke-an bentaran abisnya, OK HONEY?”.
“hmm, pakai jeket ya? Dingin loh!? Eh kamu buka puasa dimana Ai, tuh kan! Aku hampir aja lupa nanya!?”. Aduh nak!, jangan sampe dah ketularan penyakit pikun aku.
“uhm, di Steak House, yang deket tempat les aku dulu”.
“ohhh,  yaudah, happy break fast Ai!”.
“iya, makasih ya? Bye? Assalamualaikum!”.
“hati-hati ya? Inget kalau ada yang nawarin makanan atau natap mata kamu jangan mau, OK?bye Ai, walaikumsalam!”.
“hmm, mulai lagi deh! Aku Cuma naik angkot dua kali tahu?”.
“iah, tapi kan, tetep aja, aku khawatir tahu!, pokoknya kamu hati-hati ya? Entar kalau aku gak jadi pulang ke Bogor, aku jemput kamu, OK?”.
“hmm, Ok!”. Clek! Telepon ditutup. Aku sangat mengerti mengapa Ludwig se-khawatir itu padaku, memang, awalnya, aku merasa jijik, melihat perlakuan Ludwig yang sangat over-protective terhadapku yang notabene-nya hanya sebagai pacar, padahal orang tuaku saja tidak terlalu mengiharaukan soal aku. Tapi, Marsya bilang, ke-khawatiran Ludwig yang berlebihan itu merupakan bentuk perasaan sayang Ludwig padaku, Ludwig memang sama sekali tidak mengkekang ku—seperti apa yang dilakukan oleh cowok lain kepada ceweknya, biasanya sih mereka ngekang cewek buat ngelakuin apa yang mereka suka, begitu kata teman-temanku, soalnya pacar mereka begitu sih, ampe online aja dilarang!—tapi dibalik itu, dia sering meng-khawatirkanku  secara berlebihan, buktinya, ke tukang fotocopy-an saja—yang jaraknya Cuma beberapa ratus meter dari rumah—kudu diantar, kalau enggak, Ludwig bakal ngambek—bukan marah tapi ngambek, tau enggak perbedaannya? Kalau marah, hal yang terjadi pada orang dewasa, biasanya mereka pas marah suka teriak-teriak, dan bentak-bentak enggak jelas, nah! Kalau ngambek tuh marahnya anak kecil, biasanya yang mereka lakukan tuh, diem, cemberut, ditanya ini-itu enggak ngejawab, terus finalnya nangis deh!. Makanya, kemanapun aku pergi pasti Ludwig ada dibelakangku, makanya Ludwig punya julukan bodyguard-nya Alina, hehe, banyak juga yang bilang, babu-nya Alina, tapi aku sih paling seneng bilang Ludwig sponsor, abisnya setiap kita jalan, pasti dia yang bayarin. Semakin lama, aku jadi semakin terbiasa dengan sikap menjengkelkan Ludwig, tapi sekarang, aku jadi tahu, kalau dia bener-bener pengen jagain aku, nah, khawatir itu datang ketika dia enggak bisa ada buat jagain aku, makanya dia ngewanti-wanti seheboh itu, yayaya, Marsya benar, itu bentuk sayang dia sama aku. Semua ke-khawatiran Ludwig enggak terbukti, aku naik angkot dengan lancar, dan sampai tujuan dengan selamat, dan akhirnya waktu buka puasa tiba, senang sekali rasanya dapat melihat dan merasakan suasana bak pasar saat buka puasa dengan teman-teman SMP, yah meskipun cara makan kami agak brutal dan mampu merangsang orang yang melihat untuk muntah, tapi justru suasana ini yang aku rindukan. Sudah biasa bagi kami untuk makan sambil ngobrol, ngelawak dan ketawa. Keren. Jam 7 kami sudah selsai makan (cepatkan? Maklum, barbar[2])dan sekarang dalam perjalanan ke tempat karaoke, tapi baru 1 jambiasanya kami menghabiskan waktu berjam-jam ditempat karaokesemuanya memutuskan untuk pulang, sebagian teman-temanku menolak untuk mensudahi kegilaan ini, tapi ada banyak alasan melontar “kan mau taraweh tau?!” kata Yudha, belum lagi kata Fakhri “hei! Gue udah di sms ni, suruh jadi imam taraweh” apa? ya ampun, udah pada enggak beres ni dunia. Akhirnya jam setengah delapan-pun kami sudah saling berpamitan, tapi ada yang menahanku pulang. Cindy.
“Lin, temenin gue cari kado buat sepupu gue yak? Mau yak?”. Pinta Cindy dengan gaya ala Puss in Boot-nya Shrek. Sangat memohon. Hem? Bagaimana ya? Ah! Temenin sajalah, sekalian aku cari sepatu bagus buat lebaran, hehehe.
“ok, ampe jam brapa? Gue enggak dibayar perjam loh?”. Cindy tertawa mendengar banyolan lama-ku.
“jadi? Perhari gituh? Ampe nyokap-bokap gue jemput aja”. Jawab Cindy ikutan ngelawak juga.
“jiaah, kejam banget sih lu perhari, emang gue pembokat apa? Dibayar perhari?!”. Kami berdua jadi tertawa.
“udah ah, yang penting sekarang lu bantuin gue nyari sepatu yang pas buat sepupu gue, anaknya kelas 6 SD, pilihan ya sama lo? Selera lo kan lumayan”. Pinta Cindy, hmm tau aja? Tapi?  Apa tadi? LUMAYAN? HAHH? KAGAK SALAH TUH? Gaya gue udah kayak Lady Gaga jadi mualaf aja lo bilang lumayan, dasar!.
“iya, iya, gue pilihin”. Akhirnya gue bantuin pilihin sepatu buat sepupunya Cindy, eh tapi? Ternyata dia enggak hanya pilihin buat sepupunya aja, dia sendiri ikut nanya-nanya “bagus gak Lin yang ini buat gue” tanyanya sambil mengarahkan telunjuknya ke arah kakinya. Yahh! Sama deh gue juga bakal ikut-ikutan heboh milihin sepatu seakan lebaran 2 jam lagi dari sekarang, hahah! Hiperbolis gue.
“Lin, nyokap gue kayaknya udah nyampe”.
“Hah? Mana, kagak keliatan?”. Jawabku sambil celingak-celingukan.
“tuh liat, buntutnya”. Oh, i see, i see, ternyata adik Cindy udah keliatan nyamperin dia. haha!.
“Lin, entar baliknya barengan gue yak?”. Ehm, sebenarnya itu merupakan rencana awal-ku Cindy! Niat ku sejak awal memang mau nebeng sama kamu. Hihi. Tapi?.
“bu yang ini bagus gak? Alina nih yang milihin”. Tanya Cindy pada??..oh ada ibunya Cindy toh!, salam dulu ah!. Wah, ternyata dibelakang ibu-nya Cindy ada ayahnya, ada neneknya, ada Om-nya, dan? Ya ampun? Gue harus ikut? Masa sih? Gue yakin mobil pasti penuh, dan (sorry nih Ndy!) sesak dan sempit, ya, gue sih emang kecil, tapi kan yang laennya?. Oh my God!. Gimana dong?.
“Lin, mau kemana? Entar gue bayar dulu, bentar lagi ya?”. Tegur Cindy, ketika melihat aku diam-diam ke pojokan, padahal niat mau telepon Ludwig. Aku jadi berpikir dua kali untuk tawaran gratis itu. lumayan kan kalau aku enggak bayar ongkos angkot sekali?. Tapi, kayaknya aku emang kudu ngerubah rencana awal. Rencana A gagal dengan sukses. Kayaknya aku udah cukup sering nebeng Cindy dulu pas SMP, jangan lagi deh Lin, malu-malu-in banget kan kalau mesti kudu nebeng?. Dan sepertinya, aku kudu buru-buru banting setir ke rencana B, apa itu rencana B? Ya pastinya telepon orang rumah dan..Ludwig!.
“Ndy, gue....gue kagak jadi ya pulang bareng lo?”. Pinta gue sama Cindy yang lagi matut-matut sepatu, katanya tinggal bayar doang?!.
“loh, kenapa? Nah terus!? Lo pulang sama siapa?”.
“ahh, gue ada perlu dulu ke SM, ntar gue balik sama temen”.
“yee, beneran nih?”.
“iya, gue ada perlu dulu soalnya, ok?!”. Cindy terlihat mikir-mikir dulu.
“ya udah deh, lo hati-hati ya?”. Alhamdullilah!!.
“ok Ndy! Tante, pulang duluan ya?”. Mama Cindy tersenyum dari jauh sambil menggendong adiknya Cindy yang...ya Ampun! Tambah gede aja!. Ok! setelah ini, aku langsung bergergas lari keluar Departement Store itu, terus nelpon Ludwig.
“hallo? Yang?”.
“ya? Kenapa Ai?”.
“kamu jemput aku ya? Sekarang? aku gak ada temen pulang nih? Aku tunggu ditempat biasa yah? Ok? kamu jangan..”. AHH! SIAL! Ponselku mendadak mati, kena serangan jantung kali yah? Eh! Ternyata bukan, battere abis, sangat abis, dan usahaku berkali-kali menyalakannya kembali gagal. Ternyata aku lupa battere abis dan enggak sadar kalau dia udah koma sejak tadi. Yahh?!. Untung aku udah kasih tau Ludwig buat jemput ditempat biasa. Yah tempat biasa kita makan dan kencan, yaitu tempat makan siap saji di bagian bawah S-Mall. Yayaya, tinggal tunggu aja deh!.
20.45, aku sampei ke A&W, tempat janjian a.k.a ‘tempat biasa’.
20.55, aku masih nunggu. Mana ya tu si my lovely kribo. Kembali celingak-celinguk, jangan-jangan dia juga lagi nyariin aku?.
21.15, masih juga nunggu, hmmm, mana sih tu bocah!! Emang enak ya nunggu? HAH?!. Gila! capek, ngantuk, pengen pipis, takut banget pas pipis eh si Ludwig nya ada. Aduhhh!!. Kamu tuh kemana sih?.
21.30, mencoba ikut sms ke pengunjung yang lain. “mas, boleh ikut sms sekali enggak? Ponselku mati nih” “oh boleh, boleh dik” YES!!. Sms Ludwig langsung, “eh kribo! Kemana lu? Gue udah kadaluarsa tau nungguin lu!”.
21.45, Ya Ampun. Ludwig belum juga nongol, dasar dia! pasti dia kira telepon dari aku tadi Cuma mimpi yang kayak kenyataan doang, terus? Ya dia tidur lagi pas abis terima telepon. Buktinya sekarang sms yang aku kirim enggak dibalas juga. ‘si pengunjung yang lain’ juga udah pergi. Apa ada yang ngegondol tower sinyal apa?!. DASAR! UDAH MAU JAM 10 TAUU KRIBOO!!!.
22.00, jam 10 malam tepat, aku ditegur oleh pelayan di A&W, “dek, kita sudah mau tutup” katanya, aduh? Gimana dong?. Akhirnya, aku terpaksa menunggu didepan Mall. Kemana ya si kribo itu?
22.23, jelas-jelas aku kasih tau dia! di tempat biasa, di tempat biasa! Dia denger enggak sih?! Budek kali ya tu orang?!. Ahhh!. Aku udah enggak peduli apapun, yang jelas, aku sekarang pengen pipis, pengen ganti baju, terus tidur yang kenyang ampe waktu sahur, eh tapi? Aku harus bangun jam 3, terus sekarang?! jam setengah 11 aja aku belum pulang! ARHHSS!. Ya udah deh, pulang duluan, HAH?! Pulang duluan? Aku ngerasa kayak nungguin minyak damai ama air, mustahil!. Yak waktunya pulang!. Aku melangkah cepat(lari kali ye?) ke luar Mall, dan...Ya Ampun! Kok aku mesti lupa seh kalau jam segini udah jarang angkot!?. Oh My Gosh, entah apa yang harus aku lakukan sama si kribo itu kalau kita ketemu nanti?. Mutilasi? Hm! Kayaknya enggak ngefek, kan lebih asyik kalau bikin mati secara perlahan-lahan, gimana kalau mutilasi si Cadburry-nya(itu nama kucing BirmanCat-nya Ludwig dan dia jantan) atau si-Presscie-nya Ludwig(nah kalau ini piano pertamanya Ludwig, dia sayang banget sama ni benda, tapi dia selalu bilang kalau dia lebih sayang gue daripada ni benda, what?! Suruh jemput aja kagak becus!), paling enggak dia bakal sedikit sekarat karenanya, atau?? PUTUS AJA!?. Yah sepertinya lebih baik begitu, mana bisa aku pacaran sama cowok yang enggak khawatir sama ceweknya yang malem-malem gini masih ada diluar? Eh? Kok tumben ya Ludwig enggak khawatir sama aku? Padahal tadi sore penyakit over protectivenya kumat?. Apa jangan-jangan? Sikap Ludwig tadi yang gak rewel ngeliat aku ngebiarin hari jadian kita itu artinya Ludwig enggak peduli lagi sama aku? Dia udah gak sayang lagi kayaknya ya ama aku? Apa? Sekarang dia lagi jalan sama cewek lain terus jalan dilanjutin ampe...? ENGGAK!. Enggak salah lagi. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, aku jalan ke pasarbiasanya jam segini banyak angkot disanasambil ngerutuki dan mikirin cara yang tepat, hemat dan tentu saja! Cepat melenyapkan si rambut cacing itu!. Jalan dan terus jalan, tapi, aku tahu, disetiap pijakan kaki-ku di jalan becek ala pasar(agak bau terus keruh banget lumpurnya), ada langkah kaki yang mengikuti, seakan banyanganku, dia mengikutiku terus, apa dia malaikat yang katanya selalu ada disamping kita?, aku mempercepat langkah-ku, terus, terus, hingga lari, dan gila-nya, si langkah kaki itu juga ikut lari mengikutiku dan akhirnya aku sadar, setelah melihat kebelakang, ternyata dia bukan malaikat pelindung, tapi...
“hayo? Mau kemana?!”. Ujarnya sambil tersenyum licik, ternyata dia..entah siapa, tapi yang ku khawatirkan dan TAKUTKAN, dia laki-laki, sudah dewasa, tampang berewokan menyeramkan, pakai jeket lusuh dan sekarang dia menerkamku. Aku mencoba menghindar darinya dengan terus berlari ke arah depan, kenapa hari ini pasar sepi?, dia terus mengejarku hingga, dia menarik lenganku.
“mau kemana sayang? Sini main dulu sama oom?”. Ajaknya paksa dan...menjijikan! lebih menjijikan dari muntahan Cadburry minggu lalu(tapi masih setingkat kejijianku sama sifat Ludwig malam ini). Aku berteriak, meminta tolong dan mencoba meronta dari pegangannya yang keras dan bertenaga. Dia membuka jeketnya dan menutupkannya ke mulut ku.
“sssttt, kalau main sama oom, jangan berisik ya?”. Ujarnya lagi, dia menarikku secara paksa dan dengan satu tarikkan, aku terjembab ke arah tubuhnya, aku masih mencoba meronta dan terus meronta, hingga tidak terasa aku menangis. Dia memelukku, tidak seperti Ludwig, tapi seperti pyhton yang melumpuhkan mangsanya, badanku seketika lemas, tulang-tulangku seketika menjadi karet, dan aku hanya menagis saat dibawanya, entah kemana, dan entah untuk apa. Jadi? Kayak gini ya akhir idup seorang seniman macam aku?. Sepertinya aku dihipnotis oleh orang dewasa-bereweokan-menyeramkan itu, buktinya, aku sekarang jadi terserang semacam penyakit lumpuh layu. Dia memposisikanku dalam posisi tidur, dia mengelus-ngelus kepalaku, dan sebagian dari pahaku, tapi, bagai boneka, aku sama sekali tidak melawan, aku sama sekali tidak bisa bergerak, dan pandanganku mulai kabur. Dan kini, Gelap.
Tarian peri awan membuatku serasa mengayun-ngayun ditengah pelangi, dan merasakan bekas-bekas embun hujan, yang jatuh perlahan dari sebuah daun jendela surga. Peri-peri keemasan muncul, tangannya menggandeng jari-jariku, menuntunku ke sebuah gerbang emas, bersemu pink dan berlantaikan awan. Brukk!! Tiba-tiba aku terjatuh, entah kemana, yang pasti bukan ke lengkungan pelangi, tapi yang pasti, aku sedang berbaring, mataku makin terbuka, meski penglihatanku buram, tapi aku sudah bisa merasakan, ada rasa hangat ditangaku, dan itu juga yang mendorongku untuk terus membukakan mataku, mengetahui apa yang membuat tanganku begitu nyaman, kehangatan ini begitu lembut, seperti...
“Ai?!”.
“Ludwig! Jangan berisik!”.
“tapi dia, tadi Alina gerak mam! Dia kayaknya bakal bangun deh!”. Suara Ludwig?, Ludwig juga sekarang ada disurga?. Ah?.
“tuh kan mam! Alina bangun!”. Dimana aku?, aha!? Sebuah kamar, kok bisa? Ya ampun!.
“Ai? Kamu bangun? Panggil dokter mam! Alina udah siuman!!”.
Aku kira, aku sudah mati. Aku ingat betul sekarang, malam itu, aku yang sedang jalan dipasarsambil merutuki sikap Ludwigmenuju tempat mangkal angkot, diikuti dan hampir di’apa-apa-in’ oleh pria-berewokan-menyeramkan itu(yang awalnya aku kira dia malaikat pelindung), setelah dia membekap mulutku, tubuhku lemas, lumpuh layuh, dan sekarang aku sudah baikkan, dan sudah ada ditempat yang baikkan, rumah sakit.  Ternyata, aku diberi obat bius oleh pria-berewokan-menyeramkan itu, dan kenapa aku ada disini setelah dia membiusku?. Yayaya, mana mungkin si pria-menyeramkan-berewokan itu berbaik hati mengantarkan ku pulang setelah meng-apa-apa-kan-ku, jadi?, setelah semuanya gelap bagiku, Ludwig datang, ternyata, dia kira aku menyuruhnya menjemput di Steak House, tempat aku dan teman-teman buka puasa, dia juga sama, menunggu lama, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mencariku ke tempat lain, hingga akhirnya Ludwig ketemu Cindy, dan dia bilang aku ke SM, Ludwig ingat tempat ‘biasa’ itu, dan akhirnya dia pergi kesana, dan menemukan keterangan dari seorang pelayan disana kalau aku jalan ke arah pasar, akhirnya Ludwig juga kesana, dan entah mengapa, Ludwig menemukan tas selempang coklatku, plus akunya, dia menemukanku tengah di...entah diapakan, Ludwig tidak mau menyebutkan, yang pasti dia bilang aku enggak apa-apa. Ludwig bilang, kalau ia geram, dan emosi, dan langsung saja menghajar si pria-berewokan-menyeramkan itu, dan dia membawaku ke rumah sakit, karena waktu itu wajahku pucat sekali, dan makanya juga aku disini, cerita itu makin nyata, setelah Mami Ludwig memperlihatkan luka di tangan Ludwig, yang masih belum kering, masih ada darah di kain kassa-nya. Kayaknya aku harus narik kata-kata kutukan aku sama Ludwig waktu itu, juga rencana mutilasi dan..putusin dia. Sendainya Ludwig emang enggak sayang sama aku, dia bakal ngelakuin hal yang sama kayak aku, marah-marah, pulang sambil ngerutuki atau ngerencanain pembunuhan sama aku, atau? Dia juga pasti pengen putus, tapi ini? Ludwig malah bela-belain nyariin aku, untung ketemu sama Cindy. Dan dia menyelamatkanku tepat pada waktunya. Entah apa yang terjadi kalau Ludwig enggak nemuin aku waktu itu, mungkin sekarang sepupu-sepupuku lagi asyik bagi-bagi ‘warisan’(barang-barang dikamar gue).
“aku bener-bener bersyukur banget Ai, bisa sampai tepat waktu ke tempat kamu, maafin aku ya?”. APA? Maafin kamu?.
“aku yang harusnya minta maaf tau! Aku yang salah”. Kataku sambil mengingat-ngingat kutukan yang aku limpahkan pada Ludwig.”kamu seharusnya tahu, aku tuh udah su’udzan[3] sama kamu, udah ngira yang enggak-enggak tentang kamu, udah ngutuk-ngutuk kamu, udah niat mau putusin kamu...”. air mataku enggak bisa dikompromiin. Yah! Aku menangis, dan jari-jari Ludwig yang mengelapnya. “aku udah jahat tahu sama kamu tahu! Malu banget sekarang aku selamat karna kamu!”. Mulai deh, Ludwig masang tampang lucu, polos nan bloon-nya, uhh berasa ketemu puss in boot nih!.
“enggak apa-apa kok, aku tahu banget kamu pasti bete nunggu lama-lama, lagipula, kalau aku denger baik-baik kata-kata kamu ditelepon, mungkin gak akan kayak gini”. Yah Cuma begitu doang jawabnya?. Dasar Ludwig. Kalau orang biasa sih bisa-bisa aku kena semprot, dimarah-marahin, tapi Ludwig?, dia emang super, super baik, super sabar. Beruntung banget aku punya dia. Kejadian ini bikin gue sadar, ternyata emang gak baik su’udzan sama orang, meskipun kita udah tahu yang sebenarnya. Aku janji enggak akan su’udzan-an sama orang lagi!, lagipula ber-negative-thinking-an sama orang tuh bikin capek, buktinya, aku ke Ludwig waktu itu, bener-bener bikin capek, ya capek hati lah, capek mulut lah(ngutukin dia mulu), capek pikiran lah(mikirin kutukan yang pas buat dia), dan yang pasti semua ke-capek-an-ku itu menguras energi, dah akhirnya? Energi itu kebuang sia-sia. Enggak bakal deh lagi-lagi. Hahaha, Allah SWT emang paling jago bikin skenario terus nyelipin pelajaran berharga buat hamba-Nya. Dan sekarang? lewat kejadian aneh nan menyeramkan itu aku dapet pelajaran baru. Hihihi. Inget kejadian itu bikin aku ngakak dalem hati, ternyata aku goblok banget ya?. Malu-maluin. Sangat.















[1] Panggilan sayang Ludwig sama aku, dari bahasa jepang katanya, artinya cinta.
[2] liar
[3] Bahasa Arab, artinya berprasangka buruk.

0 Komentar:

Posting Komentar

if you like my article or writing.
please leave me your comment for supporting me to write better.
thanks:D